The Living Walisongo: Historisitas, Kontekstualitas, & Spiritualitas
The Living Walisongo -yang menjadi judul buku ini-memiliki tiga makna. Pertama, Walisongo sebagai sosok historis, memiliki rekam jejak sejarah dan kontribusi signifikan dalam perkembangan peradaban Islam Indonesia. Literasi sejarah, nilai, ajaran dan artefak kebudayaan peninggalan Walisongo masih bisa kita jumpai sampai sekarang. Hal ini menjadi salah satu argumentasi kuat (hujjah balighah) menganulir opini yang menyatakan Walisongo tokoh fiktif
dan ahistoris. Kesejarahan Walisongo pun ditulis dengan beragama versi tergantung perspektif, bukti dan narasi, otoritas dan relasi kuasa yang melingkupinya. Walisongo tetap menjadi figur yang melintas ruang dan waktu. Mereka selalu hidup dan membersamai keberagaman beragama muslim Indonesia.
Kedua, Walisongo menjadi tradisi yang hidup. Strategi Walisongo dalam merespon tradisi lokal dengan upaya internalisasi nilai dan ajaran Islam melahirkan ragam kebudayaan beragama yang genuine dan otentik. Hampir seluruh tradisi masyarakat, mulai lahir sampai meninggal, tidak terlepas dari inovasi kultural Walisongo. Menariknya, tradisi tersebut tetap berjalan dan di-uri-uri dari generasi ke generasi, meski konteksnya telah berubah, masyarakat tetap merayakannya dengan khidmat. Disini, Walisongo seakan tetap hidup dalam festival keagaman melalui tradisi Sekaten dan Dandangan, permaian reflektif anak-anak (dolanan) seperti Jamuran, Cublak-cublak Suweng, lagu dan syi’iran seperti Lir-Ilir, Tombo Ati dan lain sebagainya.
Ketiga, Walisongo mewujud menjadi nilai (values). Walisongo mengajarkan nilai dan ajaran Islam yang dikontekstualiasasikan dengan lokalitas (‘urf) dan konteks (wāqi’) masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai Walisongo (Walisongo’s Values) yang diajarkan oleh Walisongo dan diamalkan oleh masyarakat muslim Indonesia memiliki distingsi dengan muslim di negara lain. Distingsi tersebut meliputi:
- integrasi antara beragama bi al-nāṣ, bi al-wāqi’ dan bi al-hāl, prinsip ini menjadikan berislam tidak hanya dimaknai menghidupkan teks, akan tetapi mendialogkannya dengan ruang sosial-budaya;
- berislam secara adaptif (al-takayyuf al-fiqhiy), berislam secara adaptif dengan perubahan dan dinamika sosial- budaya dan di sisi lain, beragama juga memerlukan tahapan sistematis menyesuaikan kesiapan subjek berislam. Nilai-nilai tersebut menjadi worldview muslim Indonesia yang ramah, kontekstual dan moderat.
Dari ketiga makna tersebut, beberapa artikel para penulis lintas bidang terangkum dalam tiga kategorisasi: historisitas, kontekstualitas dan spiritualitas. Dalam rubrik historisitas, para penulis menguraikan periodisasi dakwah Walisongo, geneologi, literasi, konteks sosio-kultural dan sejarah visual Walisongo dalam komik. Di samping itu, ada pembahasan juga tentang kontestasi sejarah dan ideologi Walisongo di Walisongo di ruang digital. Sementara itu, dalam kontekstualitas dan spiritualitas, para penulis mengkontekstualisasikan nilai-nilai Walisongo dalam pelbagai bidang: Pendidikan, Dakwah, Kebudayaan, Sosial, Politik, Psikologi, Ekonomi, Filsafat, Fiqh, Ushul Fiqh dan Spiritual.