0
Disclaimer 📌
Semua konten yang ada pada website ini seluruhnya bukan milik pribadi, melainkan dari berbagai sumber dan beberapa ada di pihak ketiga seperti scribd, archive, pdfdrive dll, maka kami tidak bertangung jawab apabila terdapat ke salahan dalam isi atau konten
Home  ›  Biografi

Biografi Cak Nun


Biografi Cak Nun

Biografi Cak Nun – Siapa yang tidak mengenali tokoh budayawan sekaligus sastrawan yang akrab disapa Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib di mana pandangan dan karya-karya sastranya telah tersebar dan dikenal secara luas. Melalui karya-karyanya, Cak Nun memiliki penyampaian yang berbeda untuk menyampaikan keresahan hatinya mengenai masalah sosial dan keagamaan.
Tulisannya banyak menginspirasi penggemarnya. Latar belakangnya sebagai seorang budayawan dan pendakwah menjadikan keberadaan Cak Nun sebagai tokoh penting dalam berbagai acara. Dari berbagai acara terutama dalam acara-acara keagamaan dan kebudayaan, Cak Nun memberikan pandangan keagamaan, sosial, dan kebudayaan melalui dialog-dialog yang dilakukannya.
Karena latar belakang yang dimilikinya adalah sebagai pendakwah yang mana Cak Nun juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, menjadikannya lebih dikenal sebagai tokoh keagamaan.
Sebagai seorang yang aktif untuk menyampaikan kajian-kajian keagamaan dan kebudayaan, Cak Nun melalui karyanya juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Kata-katanya yang terdapat di dalam karya-karyanya sering dijadikan sebuah konten dalam berbagai media.
Pengalaman hidup yang dilaluinya menjadikan Cak Nun memilih untuk mengandalkan hidupnya sendiri hingga dirinya terkenal sebagai seorang tokoh intelektual muslim di Indonesia. Cak Nun dikenal melalui kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk, seperti pada puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, seminar, hingga tayangan video.
Sebagai salah satu bentuk karyanya yaitu bentuk kegelisahan Cak Nun dari adanya pelarangan jilbab oleh pemerintah Orde Baru yang sensitif karena adanya penampakan ekspresi keislaman sehingga pada tahun 1982 pemerintah Orde Baru melarang pemakaiannya di sekolah negeri.
Dari keresahannya tersebut, Emha Ainun Nadjib menuangkannya dalam sebuah karya berupa puisi yang berjudul “Lautan Jilbab”. Dari penjelasan di atas, berikut biografi seorang tokoh Emha Ainun Nadjib.
Emha Ainun Nadjib memiliki nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib, merupakan salah satu tokoh keagamaan, penyair, dan budayawan yang terkenal. Lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953 yang berasal dari pasangan M. A. Lathief dan Halimah dan merupakan putra keempat dari lima belas bersaudara.
Ayahnya merupakan pemimpin lembaga pendidikan dan merupakan pengelola TK sampai SMP. Oleh karena ayah Cak Nun merupakan pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan, Cak Nun merasa malu dan memilih untuk masuk ke sekolah dasar negeri yang tempatnya berada di desa tetangga.
Perjalanannya dalam menempuh pendidikan dimulai dari TK, SD, di mana setamat SD, Cak Nun melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Tetapi dalam perjalanannya menempuh pendidikan non formal ini tidak sampai diselesaikan oleh Cak Nun karena terdapat masalah di mana Cak Nun dituduh menjadi penggerak aksi santri untuk melakukan demonstrasi menentang para guru hingga akhirnya Cak Nun dikeluarkan dari pesantren.
Kemudian dari peristiwa tersebut, Cak Nun memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang SMP melalui lembaga pendidikan yang dimiliki oleh ayahnya hingga kemudian Cak Nun mendapatkan ijazah SMP. Selanjutnya, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang SMA di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dengan memilih jurusan Paspal.
Tamat dari SMA, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya kembali di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tetapi, dalam jenjang perkuliahannya ini, Cak Nun hanya dapat bertahan selama empat bulan dan tidak melanjutkannya karena pada tahun 1974 Cak Nun mendapatkan musibah di mana ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal.
Kegemaran Cak Nun di bidang teater mengantarkan dirinya untuk mengenal sosok Neneng Suryaningsih hingga Cak Nun dan Neneng kemudian menikah. Neneng Suryaningsih merupakan seorang penari yang berasal dari Lampung. Cak Nun dan Neneng bertemu ketika keduanya sama-sama aktif dalam kegiatan Teater Dinasti, Yogyakarta.
Pada tahun 1979 keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sabrang Mowo Damar Panuluh yang merupakan personil dari grup band Letto. Namun, usia pernikahannya dengan Neneng tidak bertahan lama hingga keduanya memutuskan untuk bercerai.
Setelah keduanya berpisah, pada tahun 1995 Cak Nun menikah dengan seorang seniman film, panggung, dan penyanyi yang bernama Novia Kolopaking. Pernikahannya dengan Novia dikaruniai empat anak yaitu Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, dan yang meninggal di dalam kandungan yaitu Ainayya Al-Fatihah.

B. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Kepenulisan
Awal perjalanannya dalam kepenulisan sudah dimulai sejak akhir tahun 1969. Di mana usia Cak Nun menginjak usia 16 tahun di mana saat itu Cak Nun meninggalkan pendidikan pesantrennya dan melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.
Kemudian pada tahun 1975 karya-karyanya telah dibukukan. Tulisan-tulisannya telah dibukukan dalam berbagai jenis karya sastra seperti puisi, cerpen, naskah drama, esai, quotes, transkrip, hingga wawancara. Berikut perjalanan prestasi Cak Nun dalam ranah sastra.

1. Memberikan sumbangsih yang besar melalui tulisan-tulisannya
Pada tahun 1980 hingga 1990 dengan rentang waktu 20 sampai 30 tahun setelahnya, bukunya masih terus diterbitkan karena dinilai masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia.
Karya-karyanya tersebut banyak terbit dan tersebar di majalah Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera (Malaysia), dan Zaman.
Tak hanya di majalah, karyanya juga terbit sebagai rubrik kolom dan tersebar di surat kabar yakni di Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaruan, dan Surabaya Post.
Dari kumpulan karyanya tersebut menghasilkan buku yang berupa kumpulan esainya yang masuk ke dalam kategori sosial dan budaya.
Konsistensinya berkiprah di dalam dunia sastra dimulainya sejak muda di mana Cak Nun bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra pada tahun 1970 yang dipimpin oleh Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub (PSK), di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta.
Kegiatannya tersebut dimulai ketika Cak Nun menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional. Tak hanya itu, Cak Nun juga menulis puisi di Majalah Muhibbah yang mana merupakan majalah terbitan UII Yogyakarta dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI.
Dari perjalanannya tersebut, Cak Nun kemudian banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta seperti Horison. Ketidakpuasannya membuat Cak Nun menghasilkan sajak dan cerpen ringan yang kemudian berlanjut menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembahasan mengenai pameran lukisan. Cak Nun menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja dalam tulisan-tulisannya.

2. Aktif dan berperan penting dalam berbagai festival sastra dan lembaga kebudayaan
Pada tahun 1975, Cak Nun mengikuti sebuah Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978. Cak Nun juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Lowa University Amerika Serikat pada tahun 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda pada tahun 1984, Festival Horizonte >III di Berlin, Jerman pada tahun 1985, dan berbagai pertemuan sastra dan kebudayaan sejenisnya.
Cak Nun pernah menjadi redaktur kebudayaan di harian Masa Kini sampai pada tahun 1977 dan menjadi pemimpin Teater Dinasti, Yogyakarta. Selain itu, Cak Nun juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta.
Tak hanya itu, Cak Nun juga ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat Al-Muhammady di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Tak berhenti di situ, Cak Nun membentuk sebuah komunitas yang diberi nama “Komunitas Padhang Mbulan” pada tahun 1995.
Komunitas tersebut dibentuk untuk membentuk sebuah kelompok pengajar. Cak Nun juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja.

3. Beberapa Buku Karya Emha Ainun Nadjib
Berikut rentetan karya Emha Ainun Nadjib.
a. Buku Puisi Karya Cak Nun
“M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abracadabra (1994); dan Syair Asmaul Husna (1994).
b. Esai Karya Cak Nun
Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Tuhanpun Berpuasa (1995); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Segitiga Cinta (2001); Trilogi Kumpulan Puisi (2001); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Ziarah Kebangsaan (1998).

C. Cak Nun dan Kiprahnya dalam Dunia Teater
Perannya untuk karya seni teater cukup memberi prestasi. Cak Nun memberikan peran aktif dalam kehidupan multi kesenian di Yogyakarta. Di mana Cak Nun pernah berkecimpung di dunia teater bersama Halim HD, menjadi networker kesenian melalui Sanggarbambu, dan aktif dalam Teater Dinasti.
Perannya dalam Teater Dinasti menghasilkan beberapa repertoar dan pementasan drama yang mana di antaranya yaitu:
1) Geger Wong Ngoyak Macan (Tahun 1989 mengenai pemerintahan Soeharto).
2) Patung Kekasih (Tahun 1989 mengenai pengkultusan).
3) Keajaiban Lik Par (Tahun 1980 mengenai eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern).
4) Mas Dukun (Tahun 1982 mengenai gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Sedangkan perannya dalam Teater Salahudin menghasilkan pentas yang berjudul Santri-Santri Khidhir pada tahun 1990, yang mana diperankan oleh Cak Nun di Lapangan Gontor dengan seluruh santri dan dihadiri 35.000 penonton di Alun-Alun Madiun.
Selain itu, Cak Nun mementaskan teaternya kembali dengan judul Lautan Jilbab pada tahun 1990 yang mana dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.
Juga pentas lainnya yaitu yang berjudul Kiai Sableng dan Baginda Faruq pada tahun 1993, Perahu Retak pada tahun 1992 mengenai Indonesia pada zaman Orde Baru yang digambarkan lewat situasi konflik Pra-Kerajaan Mataram di mana naskah teaternya ini dijadikan buku dan diterbitkan oleh Graha Pustaka.
Pentas teater lainnya yaitu Di Samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, dan Duta Dari Masa Depan. Tentunya dari keseluruhan tersebut menghantarkan Cak Nun sampai ke kiprahnya saat ini.

Mau donasi lewat mana?

BRI - Saifullah (05680-10003-81533)

JAGO - Saifullah (1060-2675-3868)

BSI - Saifullah (0721-5491-550)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
Additional JS